BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Minggu, 25 April 2010

Kartini Sejati

Aku terbangun pagi ini, karena cahaya matahari menyinariku, seakan membangunkanku dari mimpiku. Wah, sudah pagi! Kataku dalam hati. Mataku langsung tertuju pada jam dinding di kamarku. Jam setengah 6… ah, masih bisa tidur lagi, kok! Aku tahu, seharusnya aku sudah harus bersiap-siap ke sekolah karena pintu gerbang sekolah akan ditutup pukul 07.00. Huuaam, baru saja aku menguap yang kata Ibuku aku terlihat seperti badak saat aku menguap, Becky si gigi maju adik perempuanku (yang lebih tepat kalau kusebut adik laki-laki, sebab dia sangat menyebalkan, tomboy, seperti laki=laki, deh, pokoknya!) langsung masuk ke kamarku. Dia basah kuyup! “Hei, kalau mau masuk ke kamarku, ketuk dulu…astaga, kenapa kau basah begitu?!” aku terkejut melihatnya. “Well, sebaiknya kau cepat bangkit dari tempat tidur itu, kalau tidak kau akan disiram oleh ibu sepertiku.” Becky mengingatkanku. Aku langsung loncat dari tempat tidurku. Aku dan Becky memang sama-sama MALAS. Hanya itu kesamaan kami.
Aku langsung mengganti pakaianku. Kurasa aku akan memakai warna pastel, gumamku. Sekolahku memang memperbolehkan murid-muridnya memakai baju bebas, asalkan, tentu saja, sopan dan bersih. Itu adalah salah satu hal yang membuatku betah tinggal dan sekolah di Inggris ini yang penuh kebebasan tapi tetap memperhatikan keteraturan. Tak terlalu banyak peraturan ini dan itu. Aku kemudian mengambil scarf merah kesayanganku, dan langsung berlari menuju tangga, dan kemudian ruang makan. Hmm, sarapan pagi ini sandwich! Menu sarapan favoritku! “Pagi, bu. Sandwichnya enak!” aku sulit berbicara karenamulutku penuh dengan sandwich. “Pagi, Kat. Hari ini hari terakhir sekolah sebelum libur musim panas, kan? Oh, iya, Kat, Ibu nanti mungkin akan pulang sore, karena Ibu harus menyelesaikan artikel untuk rubrik baru.” Ibu memang seorang editor majalah ilmiah anak. Aku pernah ke kantornya. Keren sekali, penuh dengan mainan anak-anak. “Oh, iya. Jangan kupa nanti telpon Kartini, ya. Dia kan ulang tahun minggu depan.”
Aku langsung teringat Kartini. Gadis cilik itu adalah sahabat sejatiku saat di Indonesia. Dia penjual topeng binatang di perempatan jalan dekat rumahku dulu. Dia sangat baik juga berani. Aku kagum dengannya, sebab dia adalah salah satu tulang punggung keluarganya. Dia berbeda 3 tahun denganku, seumuran dengan Becky. Orangtuaku membantunya untuk bersekolah, jadi sering kupinjamkan buku sekolahku dulu. Wajahnya tak pernah murung, selalu saja tersenyum. Aku tak tahu, apa yang bisa membuatnya setegar itu menjalani hidup ini.
Sepulang sekolahku, di Tribeca Prep Middle School, aku langsung berlari menuju kamarku yang bernuansa biru. Aku memang sangat suka pada warna biru. Aku langsung mengangkat gagang teleponku. Aku langsung memencet tombol-tombol di telepon itu, aku menelpon telpon rumahku. “Halo?” suara Bik Sum terdengar jelas. “Bik Sum, ini Kat, Katherine.” Kataku. “Oh, iya non. Apa kabar? Udah lama gak nelpon,” kata Bik Sum dengan mendhok jawa yang khas. “Baik, Bik Sum. Eh, Bik, bisa minta tolong gak? Tolong panggilin Kartini dong.” Aku tak sabar. “Eh, non, Kartini kan udah 2 bulan ga jualan lagi.” Lapor Bik Sum. “Loh, kenapa Bik?” tanyaku. “Gini, neng. Denger-denger gossip, katanya si Tini dilarang sekolah lagi oleh pamannya, setelah orangtuanya meninggal sebulan lalu. Kata pamannya, Tini gak boleh sekolah, karena sekolah hanya akan merepotkan Tini. Tini harus ngejagain tokonya Pamannya. Gitu, neng. Kasihan ya.” Jelas Bik Sum panjang lebar. Wah, tumben hobi ngegosipnya Bik Sum berguna, hehe. “Oh, gitu. Ya udah, deh. Nanti Kat telepon lagi. Daah.” Aku menutup telepon.
Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidurku. Tega banget pamannya Tini, pikirku. Hari gini, masih mikir sekolah gak penting? Ya ampun. Menurutku itu gak adil buat Tini. Aku harus menyelesaikan semuanya. Baru saja terlintas sebuah ide di kepalaku, panggilan dengan aksen British Ms. Beckworth menghancurkannya. Dia adalah pelayan di rumahku. Dia memanggilku untuk makan siang. Uuh, Ms. Beckworth, ngerusak ide orang aja!
Saat Ibu pulang, aku langsung berlari menuju Ibu, mencoba membantu membawakan tasnya dan memberi senyuman. “Oke, sekarang apa maumu?” Wah, Ibu sudah tau kalau aku membantunya dengan alasan tertentu! “Aku mau libur musim panas kuhabiskan di Indonesia,” kataku. “Hah? Kenapa kau tiba-tiba berpikir seperti itu?” Ibu terlihat cukup kaget. “Ayolah, bu. Aku janji aku gak akan merepotkan Ayah.” Ayah memang tinggal di Indonesia untuk setahun ini untuk menyelesaikan sekolahnya yang tertunda. Kemudian ayah akan tinggal di Inggris bersama kami. Setelah berfikir sejenak, Ibu akhirnya mengizinkan. Aku langsung berterimakasih dan berlari ke kamarku untuk memberitahukan Ayah bahwa aku akan ke Indonesia.
Setelah 3 hari bersiap-siap, akhirnya aku berangkat ke Jakarta, Indonesia. Aku langsung memeluk Ayahku saat aku menemuinya di bandara. Sesampainya di rumah, Bik Sum langsung menyambutku dengan makanan kesukaanku, nasi kuning buatan Bik Sum. Kebetulan aku sangat lapar saat itu, Aku langsung melahap nasi kuning itu. Saat makan malam, aku memberitahukan maksud kedatanganku ke Indonesia yang sebenarnya. Ayahku hanya mangut-mangut mendengar ceramahku. “Tapi Kat, ini masalah keluarga Kartini, dan itu bukan hak kita untuk ikut campur.” Ayah berusaha menjelaskan kepadaku. “Tapi, yah. Kartini itu sahabatku. Dan sahabat saling membantu saat ada masalah. Kartini sedang dalam masalah, yah. Aku harus membantunya.” Aku meyakinkan Ayah. “Aku harus menyelesaikan semuanya, yah. Aku bisa kok.” “OK, tapi jangan membuat masalah.” Kata Ayah.
Keesokan harinya aku langsung menuju rumah paman Tini. Ternyata Tini sedang duduk di toko pamannya. “Kartini!” Aku berlari menuju Kartini. Kami langsung berpelukan. Setelah melepas rasa rindu, aku memberitahu maksud kedatanganku. “Aku harus memberitahukan Paman kamu bahwa sekolah itu sangat penting, meski untuk perempuan.” Kataku dengan tegas. “Gak usah mbak” katanya lirih. Aku harus bisa menerima kenyataan bahwa aku tidak usah bersekolah. Kata paman itu yang terbaik.” Kartini menolak. “Terbaik untuknya, bukan untuk kamu.” Kartini hanya menunduk mendengar kata-kataku.
Beberapa hari kemudian ketika Kat menikmati rujak yang dibelinya dari tukang rujak keliling, Si tukang rujak bertanya kepadaku, “Kelihatannya sedang bingung, ada apa neng?” Aku menceritakan keadaan kartini yang dilarang oleh pamannya bersekolah. Tiba-tiba kartini datang ke rumah. Eh paman di sini… Kartini memperkenalkan aku pada penjual rujak tadi yang ternyata adalah paman Kartini. Paman kartini kelihatan sedang marah, “Kartini telah menceritakan pendapat Neng Kat untuk tidak menyekolahkannya, tapi ini keputusan yang terbaik” kata pamannya.
Tapi paman, Raden Ajeng Kartini telah berjuang keras untuk memperjuangkan kesempatan perempuan untuk sekolah tapi paman malah melarang Tini untuk sekolah.” jawabku. Paman berusaha membalas, “Tapi…” “Paman, sebenarnya Tini ingin sekali bersekolah! Sekolah adalah adalah tempat aku mendapatkan kebahagiaan. Tolonglah, paman. Izinkan aku bersekolah kembali.” Ucap Kartini sambil menangis. Paman Kartini tidak bisa berkata-kata. Dia terharu melihat semangat bersekolah keponakannya itu. “Baiklah, Tini. Kau boleh bersekolah lagi.” Kata paman akhirnya. Kartini memeluk pamannya.
“Terima kasih Kat, kamu adalah sang Kartini Sejati.” ucap Tini sambil mengusap air mata haru.